Kisruh Pers Yang Tidak Dewasa” Tugas Dewan Pers Membina Bukan Mendiskriminas.
JAKARTA } Kekisruhan permasalan pers di era reformasi tidak kunjung usai, Perubahan zaman di era revolusi industri keempat ini sangatlah pesat pada tatanan pertumbuhan media baru. Terutama pada Perubahan era analog ke era digital telah melahirkan ribuan media online yang membuat lembaga Dewan Pers kewalahan. Padahal sebelumnya, memang perusahaan pers disyaratkan untuk memiliki izin yang dibuktikan dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Namun sejak era reformasi tahun 1999, saat diberlakukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”), tidak lagi disyaratkan adanya SIUPP, hal ini yang harus secara sadar dipahami oleh seluruh jajaran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan kalangan Perusahaan Media.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers, pengertian dari Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia,hal ini diatur dalam UUD 1945 pasal 28 dan 28 ayat (F), UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 19,20,21, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Lebih jauh dalam Pasal 1 angka 2 UU Pers disebutkan pengertian dari Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.
Ketentuan bahwa perusahaan pers harus berbentuk badan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers bahwa setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sayangnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU Pers maupun dalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Pers, tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum apa seperti apa yang harus dipilih.
Contoh bentuk badan hukum di Indonesia antara lain adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan,dan Koperasi. Belum ada ketentuan yang secara spesifik mensyaratkan perusahaan pers untuk memiliki bentuk badan hukum tertentu. Agar bisa memilih bentuk badan hukum yang tepat, maka perlu diketahui karakteristik usaha dari tiap badan hukum yang lebih jauh bisa kita simak di artikel Jenis-Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya.
Pada prinsipnya badan hukum PT didirikan untuk mencari keuntungan, badan hukum yayasan didirikan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sedangkan badan hukum Koperasi didirikan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya.
Untuk pendirian PT diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk pendirian Yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sedangkan untuk pendirian Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pada ranah praktik perusahaan pers lebih banyak memilih bentuk badan hukum PT. Perizinan yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT antara lain adalah:
1. Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM;
2. Surat Domisili;
3. NPWP;
4. SIUP;
5. TDP;
6. Izin-izin teknis lainnya dari departmen teknis terkait.
Lebih jauh mengenai pendirian PT dalam artikel ini Bentuk Badan Usaha Apa yang cocok dapat ditentukan sendiri oleh para pendiri perusahaan yang bergerak dibidang media, perusahaan pers tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers, karena perusahaan pers disyaratkan berbentuk badan hukum, maka perizinan yang diperlukan adalah perizinan sesuai dengan badan hukum yang dibentuk.
Untuk perusahaan pers, yang lebih perlu diperhatikan adalah mengenai aspek pemberitaan sebagai bagian dari kegiatan jurnalistik. Sesuai Pasal 12 UU Pers, Perusahaan Pers diwajibkan untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Dari segi pemberitaan, media online sebagai alat jurnalistik harus tunduk dan taat pada Kode Etik jurnalistik dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber. Selain itu, Dewan Pers menetapkan bahwa perusahaan pers tersebut juga harus mengacu pada Standar Perusahaan Pers dan Standar Organisasi Perusahaan Pers.
Jadi, untuk perusahaan pers atau media online yang didirikan bisa diakui secara hukum, dalam pendiriannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yakni salah satunya adalah harus berbentuk badan hukum. Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistiknya, media online harus tetap mengacu pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta pedoman-pedoman yang telah ditetapkan Dewan Pers sepanjang aturan tersebut tidak melampaui batas aturan yang berlaku, sebagai lembaga pengawas jurnalistik sebagaimana telah diuraikan di atas.
Dasar – dasar hukum dibawah ini harus dapat kita pahami bersama :
1. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
3. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Belakangan Dewan Pers gencar sosialisasi soal jenis-jenis media di Indonesia, yakni media profesional, media partisan, dan media abal-abal. Juga soal jenis-jenis media menurut Dewan Pers yang menjadi satu kejanggalan dan menjadi perdebatan dikalangan pers UKM mengapa Dewan Pers menyebutkan media abal-abal tentunya Dewan pers sebagai lembaga yang menaungi pers harus lebih mengedepankan pembinaan dari pada istilah kata penghinaan seperti kata “Abal-Abal” yang dituangkan dalam satu surat edaran Dewan Pers beberapa waktu lalu. Secara sadar atau tidak, para media ini lebih banyak pekerjaan baiknya dari pada yang tidak baiknya. Hal ini perlu diluruskan dan perlu ada campur tangan dari pemerintah agar cita-cita pelaksanaan kebebasan dan kemerdekaan pers sesuai yang diatur dalam undang-undang dapat terlaksana secara baik dan menguntungkan semua pihak, Hal ini harus dipahami dengan jelas secara legal formalnya , bahwa media saat ini tidak memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) seperti era Orde Baru. Harus diinga dan dipahami Pasal 9 UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan:
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Sejak diberlakukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUPP tidak berlaku lagi. Namun demikian, media online, dalam hal ini situs berita atau situs majalah berita, tetap harus berbadan hukum agar menjadi media resmi atau media legal.
Dalam penjelasan UU Pers tidak dijelaskan bentuk badan hukum yang dapat digunakan untuk mendirikan perusahaan pers.Namun, Dewan Pers menyatakan badan hukum dimaksud adalah Perseroan Terbatas (PT). Praktisnya, untuk mendirikan perusahaan pers berbentuk badan hukum PT, yayasan atau koperasi dapat dibuat langsung ke kantor Notaris. Pendirian PT diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk syarat modal yang terdiri dari Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor. Modal dasar Perseroan minimal Rp50.000.000.- (lima puluh juta rupiah).
Media Online profesional adalah media daring yang menaati Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber serta menguasai keterampilan jurnalistik dengan baik, yaitu teknik peliputan (reportase), wawancara, penulisan. Kode etik yang sering dilanggar media online, juga media massa pada umumnya, adalah berimbang (balance). Media harus berimbang dalam memberikan tulisan terhadap khalayak.
Hal tersebut hingga saat ini terus menerus menjadi perdebatan baik di tingkat pusat hingga daerah, seharusnya lembaga yang menaungi pers harus memahami seluruh aturan yang telah jelas terang benderang diatur dalam tatanan Undang- Undang tidak perlu jadi perdebatan sehingga menimbulkan persepsi negative bahkan terjadi diskriminasi dalam penegakan kebebasan pers yang secara yuridis telah diatur.
Secara vertikal dan horizontal lembaga yang membidangi pers secara nasional harus dapat menjalankan tugasnya sesuai aturan hukum yang berlaku, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan tentang permasalahan media online yang saat ini karya-karyanya banyak dikriminalisasi. Demikian juga sebaliknya pelaku media juga tim medianya harus jelas memahami aturan dan peraturan tentang pendirian media online berikut pengaturan tim dari media tersebut dalam melaksanakan tugas jurnalistik nya.
Kerena media didirikan harus tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku, tugas media dan wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara terus menerus dengan suguhan tulisan – tulisan yang berimbang sesuai fakta, data, konfirmasi narasumber yang jelas serta bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat, media dan karya jurnalistik bukan untuk menakut- nakuti atau untuk mengancam baik itu di tatanan objek perorangan, badan swasta ataupun pemerintah.
Hal ini yang harus sama dipahami baik itu ditatanan lembaga yang membidani pers, media dan wartawan secara nasional di NKRI ini, Dewan Pers seharusnya menerbitkan peraturan untuk pembinaan bukan menerbitkan peraturan yang mendiskriminasi tugas dan kebebasan pers dalam menjalankan tugas jurnalistik tanpa diskriminasi dan mengkotak-kotakan tatanan media ataupun wartawan, semua ada aturan mainnya dan telah di atur pada tatanan aturan hukum yang jelas dan tegas, seperti yang saya uraikan diatas. Tulisan saya ini bukan bermaksud menghakimi atau menyalahkan Dewan Pers tetapi saya menghimbau agar Dewan Pers dapat memahami aturan serta tupoksinya sebagai lembaga yang menaungin pers secara nasional.
Oleh Dr.(c) Suriyanto S.H.,M.H.,M.Kn
Dosen Hukum Media Massa Universitas Jakarta.