*Karena Mendukung Jokowi, Rhenald Kasali Dikambinghitamkan*
Lintas Lampung,Bangkrutnya Jiwasraya bak bola salju yang menggelinding dari puncak. Di sepanjang jalannya, ia menerjang apa saja dan menyeret segala sesuatu di sekitarnya.
Jiwasraya jelas-jelas dibangkrutkan oleh eks Dirut dan tukang goreng saham. Mungkin saja sejumlah elit ikut terlibat. Makanya banyak orang lama yang gelisah dan ingin membelokkanya.
Laporan masalahnya pernah ada sejak 2006, namun disembunyikan rapat-rapat oleh para penjahat kerah putih.
Pat gulipat para elit itu luput dari perhatian publik. Sehingga meski pemerintahan sudah beberapa kali berganti, kongkalikongnya baru terbuka saat ini. Maka kini muncul buzzer politik yang berupaya menguburnya kembali. Media dan jagat sosmed diarahkan ke titik lain, semisal sertifikat award. Sedangkal itulah otak busuk para pembelok perhatian mengelabui demokrasi.
Agak ganjil memang. Apa yang telah dilakukan pemerintah, DPR dan KPK sebelumnya? Sebab konon, dulu, kabarnya BPK pernah memberikan sinyal lampu kuning kepada kalangan terbatas di Senayan. Tapi tak ada yang menggubrisnya sampai BPK lupa lagi.
Mungkin karena banyak oknum yang sudah ikut menikmati dan duitnya sudah mengalir kemana-mana.
Kini lemak jahatnya menumpuk. Dan membuat Jiwasraya kolaps.
Kok semua baru heboh sekarang?
*Digoreng Rizal Ramli dan Said Didu*
Alih-alih menganalisis yang benar, muncul pahlawan kesiangan yang biasa tektokkan menggoreng isue. Namanya Rizal Ramli dan Said Didu yang sama-sama pernah diberhentikan Jokowi.
Yang satu dipecat sebagai menko, yang satunya sebagai komisaris BUMN di tambang batubara PT Bukit Asam karena tak becus bekerja.
Bak Yutuber tua yang sedang mencari follower, mereka menyeret nama Rhenald Kasali, terkait ambruknya Jiwasraya hanya karena mereka menemukan tandatangan Rhenald Kasali sebagai ketua dewan juri penghargaan pada perusahaan-perusahaan BUMN.
Karena senior dan independen, Dia memang sering didapuk menjadi penengah para juri oleh media masa dan komisi-komisi independen. Mulai dari pansel KPK sampai urusan kemanusiaan, namanya dipercaya publik.
Namun kali ini kedua buzzer politik itu kena batunya. Yang mereka hadapi bukan anak baru kemarin yang mudah digertak dan diragukan publik. Apalagi keduanya sudah tua dan ketahuan tengah bermain. Karier mereka berada di ujung senja dalam kesepian orangtua yang pikun dan renta.
Ini contoh pikunnya, dalam jejak digitalnya ternyata Said Didu juga anggota dewan juri pada majalah BUMN Track. Bahkan ia turut mendirikan majalah itu saat menjadi Sesmen pada kementrian BUMN.
Mungkin sebagai pejabat, ia pernah berharap majalah itu bisa menjadi besar seperti Tempo dan banyak iklan masuk dari BUMN yang kelak bisa ikut ia nikmati.
Namun sayang zaman berubah. BUMN yang dulu mudah diatur Didu, kini governance-nya sudah jauh lebih baik. Bahkan saat ditanya wartawan, pemimpin perusahaan BUMN Track, H Sutarto mengatakan, “Sejak menjadi politisi….”
Dia lalu berhenti menjelaskan. Mungkin maksudnya, Didu mulai tak bisa diikuti logika berpikirnya.
Nah sebagai pengoper bolapanas pada Rizal, Didu lupa bahwa ia punya masa lalu yang tak bersih-bersih amat.
Di tengah karier senjanya sejak dipecat sebagai komisaris BUMN, Didu kini hanya sibuk ngetwit dan memandikan sapi-sapi di peternakan besar miliknya yang dibangun saat menjadi pejabat tinggi di kementrian BUMN.
Tampaknya Didu ingin membelokkan kasus yang menjerat teman-temannya yang dia angkat sebagai direktur di Jiwasraya saat ia menjadi pejabat di kementrian BUMN itu.
Untuk itu Didu butuh senior yang sedikit dungu, Rizal Ramli. Maksud saya, di dunia ini yang berani bicara ngasal pasti rada-rada begitulah. Beda benar dengan orang berwawasan luas yang lebih cermat.
Dia tertarik karena ada kebutuhan lain yang mendesak. Nanti anda akan tahu kemana muaranya.
Rizal inilah yang dulu juga bisa dipakai geng mereka untuk nenutupi kasus bengebnya wajah Ratna Sarumpaet yang ternyata cuma sandiwara bedah pelastik.
Rizal saat itu dengan lantang muncul di media yang mengatakan dia tahu persis Ratna adalah aktivis yang berjuang untuk rakyat dan percaya Ratna digebuki oknum polisi. Namun selang beberapa menit kemudian, muncullah wajah Ratna di televisi yang mengaku bahwa ia telah merekayasa berita itu bersama teman-temannya. Rizal yang sudah kadung berbohong pun menghilang.
*Ajang BUMN Biasa*
Tak ada yang aneh dalam penjurian BUMN itu. Di situ pemetaan dilakukan diantara sesama perusahaan plat merah, pada beragam industri. Bukan sesama perusahaan keuangan. Jiwasraya dianugerahi perunggu (bukan emas) dalam proses pengembangan produk.
Tahun 2018 ketika itu, majalah BUMN Track membuat award. Rhenald Kasali diminta para pakar untuk menjadi ketua dewan juri ajang tersebut. Tidak ada hal luar biasa di sana. Karena bahan penilaian berasal dari presetasi eksekutif dan sumber-sumber resmi.
Diantaranya adalah laporan dari auditor kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers, yang menyatakan Jiwasraya tahun sebelumnya untung Rp 1,6 T dan tahun berikutnya direksi lama mengklaim untung Rp 2,7T.
Tak percaya begitu saja, Rhenald mengecek pada jaringannya di BUMN itu. Ternyata ia menemukan direksi baru kurang yakin dengan angka itu. Belakangan KAP PWC mengkoreksi untung bersihnya menjadi Rp 360 miliar. Karena itulah ia menurunkan grade awardnya dari emas ke perunggu.
Dan harap maklum, di negri ini semua produk jasa keuangan harus lolos persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka compliance adalah bagian dari proses yang dinilai itu. Di sini Jiwasraya pun comply pada aturan.
Sebagai investasi legal, semua anggota dewan juri yang terdiri dari para wartawan senior dan pakar bisnis sepakat, pemberian penilaian selanjutnya tidak bermasalah.
*Boroknya ada di sisi Lain*
Persoalan Jiwasraya itu karena direksi lama menyembunyikan fraud mereka secara rapih pada sisi investasi. Mereka melakukan window dressing dan berkolusi dengan pialang saham dan emiten yang sahamnya sulit dijual. Maka mereka butuh direktur yang busa diatur dan mau bagi-bagi. Bahkan bersedia membeli kalau harga per unitnya dinaikkan.
Tentu saja mereka bukan orang bodoh. Mereka tahu trik dan pasti minta bagian. Setelah dibeli lalu dicatat sebagai aset.
Pencairannya di kemudian hari bertahun-tahun kemudian jelas akan membuat perusahaan rugi. Sebab, setelah itu harga akan jatuh. Tapi itu bukan urusan mereka. Sambil melihat timeline, direktur lama tahu kapan harus berhenti. Urusan rugi menjadi beban direktur berikutnya.
Diam-diam mereka melakukan investasi mirip skema ponzi. Tak ada cara lain, mereka harus menggunakan uang orang baru untuk membayar kewajibannya.
Jiwasaraya pernah menawarkan investasi yang menggiurkan pada tahun 2012. Dengan janji pemberian bunga pasti (fix rate) 9% sampai 13% untuk produk JS Saving Plan. Bahkan untuk produk asuransi tradisional diberikan bunga hingga 14%. jangan heran hampir semua bank asing dan bank BUMN yang dijaga bankir-bankir handal pun taruh uangnya di sana. Ada yang ratusan miliar ada yang trilyunan. Tahun 2017 skema itu mulai dikendurkan, kembali normal.
Dalam kondisi itu, siapapun akan rawan kejeblos. Tak terkecuali para anggota dewan juri yang melapor pada Rhenald Kasali. Mereka hanya menilai aspek lain. Yang ia nilai proses pengembangan produk, bukan produk itu sendiri sebagaimana nama kategori penghargaan: Product Development. Itupun diantara sesama BUMN pada beragam industri. Bukan khusus asuransi. Dan juri hanya boleh mengamati dari luar jendela.
Kesalahan Rhenald Kasali sebenarnya hanya satu, dia adalah pendukung Jokowi. Dia percaya negri ini butuh pemimpin yang bekerja, bukan pewacana kosong yang hanya mengeram di istana seperti yang biasa kita baca dari buku-bukunya.
Di mata Rizal Ramli, para pendukung Jokowi adalah ancaman. Mereka musuh yang harus ditumbangkan. Oleh sebab itu, dengan segala cara ia akan menjatuhkannya. Termasuk ketika Rizal Ramli menolak pencalonan Ahok masuk ke jajaran elit BUMN.
Selama ini, Rhenald Kasali selalu mematahkan argumen Rizal Ramli terkait kondisi ekonomi yang sedang mengalami great shifting.
Ada fenomena disruptif yang gagal dipahami orang-orang semacam Rizal Ramli. Karena Rajawali Kepret itu melihat segala sesuatu dengan kacamata jadulnya.
Dia belum bisa mengerti ada perusahaan masa kini yang tak punya modal besar tetapi bisa memberikan pendapatan besar seperti Gojek yang bahkan tak punya aset barang satu sepedamotorpun atau Airbnb yang tak punya satu gedung kamar pun.
Oleh sebab itu, Rhenald Kasali menjadi batu sandungan. Ia mengganggu langkah Rizal Ramli dalam mencemari ruang publik dengan argumen ekonomi tunggalnya. Karena ternyata ada penyebab lain yang luput dicermatinya. Satu peregeseran baru yang sulit dipahami oleh orang-orang lama.
Maka tak heran jika Rizal Ramli begitu bernafsu menghabisi nama baik Guru Besar Fakultas Ekonomi UI tersebut.
Serangan Rizal Ramli terhadap Rhenald Kasali bukan yang pertama kali. Hanya saja, kali ini dia menemukan momentum yang tepat. Dia dapat kawan Said Didu yang juga tengah menyembunyikan masa lalunya. Rizal Ramli menunggangi bola salju yang telah menggelinding dari atas bukit. Di ujung jalur bergulirnya itu, kaki Rhenald Kasali diseret agar terperosok lobang.
Kali ini dia keliru, sebab publik tahu mana yang benar dan siapa yang tengah membelokkan persoalan. Rhenald dikenal cermat dan berwawasan luas. Apa yang disampaikannya selalu bernas dan quotable bagi media. Para pencundang sangat segan menghadapinya. Mahasiswanya ada dimana-mana di seantero negri ini.
Sementara bobroknya Jiwasraya disebabkan kawan-kawan kedua tokoh itu yang sengaja melakukan kolusi dan window dressing.
Kalau kita mau jujur, pada saat yang sama ada banyak media dan lembaga yang ikut memberi penghargaan. Ada majalah Warta Ekonomi, SWA, Infobank,Menkominfo, Markplus, majalah Investor dan sejumlah media lainnya. Namun mereka tak diseret Rizal dan Said Didu karena tak ada tokoh besarnya yang bisa digoreng.
Namun sayangnya Markplus dan sejumlah pemberi anugerah buru-buru menghapus jejaknya dari website masing-masing. Untungnya di website resmi Jiwasraya semua masih tertera rapih.
Rhenald Kasali jelas tidak ada kaitannya dengan kasus Jiwasraya. Dia tak menilai sendirian dan telah memutuskan dengan benar pada tempatnya dari data yang ada. Alih-alih ikut membuat perusahaan asuransi itu bangkrut.
Framing jahat Rizal Ramli dan Said Didu itu seperti menepuk air di dulang, terpercik mukanya sendiri. Karena konon, Rizal Ramli ternyata berhubungan dekat dengan mantan Dirut Jiwasraya ketika itu, Hendrisman Rahim. .
Dia sedang menskenariokan cerita seolah-olah Rhenald Kasali harus bertanggung-jawab atas ambruknya Jiwasraya. Padahal tidak ada sangkut-pautnya.
Kalau saya ada di posisi Renald Kasali, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada yang patut disesali. Termasuk ketika memberikan dukungan pada Jokowi. Meskipun risikonya, kelompok sebelah akan senantiasa memusuhinya. Padahal Pilpres telah selesai. Prabowo dan teamnya bahkan jadi pembantunya Jokowi.
Kasus bangkrutnya Jiwasraya sengaja dibelokkan, demi menjadikan orang lain kambing hitam. Orang-orang yang membenci Rhenald Kasali tidak peduli dengan kasus fraud perusahaan itu. Yang terpenting bagi mereka adalah meremukkannya sehancur-hancurnya. Menistakan namanya sehina-hinanya. Betapa picik dan kejinya pemikiran semacam ini. (*)
Kajitow Elkayeni
*)Penulis adalah Pengamat masalah-masalah sosial.