Oleh: Wendy Melfa
Pasca Sarjana Universitas Lampung
Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)
Pengantar :
Tiupan “angin politik” yang berhembus sebelumnya tentang wacana masa jabatan Presiden RI bisa diperpanjang menjadi 3 periode melandai bahkan nyaris hilang setelah Presiden Jokowi menegaskan dirinya menolak usulan perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode, hal itu disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan redaksi di istana Kepresidenan (15/9/21, CNN Indonesia). Kali ini angin itu berhembus kembali menyeruak iklim politik tanah air yang relatif (masih) sejuk ini melalui hasil survei sebuah lembaga survei yang merilis hasil survei terbarunya dengan menghadirkan Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/ Kepala BKPM (9/1), salah satu figur muda yang ada dalam jajaran kabinet Presiden Jokowi, yang mengungkapkan bahwa rata-rata pelaku usaha berharap penyelenggaraan Pilpres 2024 ditunda, pertimbangannya tak lepas dari pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi civid-19. Lebih lanjut dikatakan, hasil diskusi dengan kalangan pengusaha yang konon rata-rata berpikir “bagaimana proses demokrasi ini, dalam konteks peralihan kepemimpinan, kalau ada ruang untuk dipertimbangkan dilakukan prosesnya untuk dimundurkan, itu jauh lebih baik” (CNN Indonesia 9/1).
Pernyataan Bahlil (Menteri Investasi) dalam rilis hasil survei sebuah lembaga survei sebagai sebuah ‘aksi’ yang sejatinya mengharapkan ‘reaksi’ dari publik, setidaknya dari elite politik dan pelaku usaha untuk ‘mengukur kedalaman’ gelombang yang dapat dijadikan sandaran untuk lajunya perahu berbendera ‘menunda Pemilu’. Menurut ilmu marketing, pernyataan yang dimainkan pada lapangan politik, lazim disebut ‘test the water’ untuk memperkirakan reaksi dari publik atas manuver tersebut, mungkin sang lakon sadar benar bahwa manuver itu tidak terlalu mudah bisa diserap oleh pasar begitu saja, setidaknya ada 2 hal penting yang menjadi handicap (tantangan) yaitu ketentuan hukum dan budaya politik masyarakat, dan itu tidak mudah dilewati begitu saja.
Pandemi dan regulasi Pemilu
Covid-19 yang di beberapa negara di dunia ditemukan November – Desember 2019 dan di Indonesia dideklarasikan sebagai pandemi pada Maret 2020, juga terjadi dihampir semua belahan banyak negara di dunia telah dikategorikan bencana non alam merupakan wabah kesehatan yang tidak sedikit penduduk harus mendapat perawatan medis dan bahkan korban jiwa, menyebabkan banyak negara menutup diri (lock down) secara total atau sebagian wilayah negaranya dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global yang telah menyebabkan krisis ekonomi dunia terparah sejak perang dunia II. Meskipun masih ditemukan varian baru dari covid-19 yaitu omicron yang masih menjadi ancaman bayang-bayang covid-19, namun secara umum dunia relatif sedikit sudah bisa mengantisipasi covid-19 ini dengan vaksinasi, prokes yang ketat dan kebiasaan baru yang diterapkan dalam aktivitas kehidupan, dan ekonomipun secara bertahap sudah kembali bangkit dan mengalami pertumbuhan, sektor usaha juga sudah mulai menggeliat dan daya beli masyarakatpun sudah mulai perlahan meningkat.
Trauma bencana kesehatan yang berdampak pada ekonomi, nampaknya kurang tepat untuk dijadikan reasoning oleh ‘claim’ pengusaha yang dijadikan narasi oleh Bahlil, Menteri Investasi/ BKPM untuk dijadikan pintu masuk penundaan pelaksanaan Pemilu 2024, karena yang mengalami pandemi ini bukan hanya Indonesia, yang terdampak ekonominya juga bukan hanya Indonesia, tetapi banyak negara, bahkan dunia. Keterpurukan dan mulai bangkitnya perekonomian akibat covid-19 ini juga dirasakan oleh negara-negara lain di dunia, bahkan di banyak negara tetap menyelenggarakan proses demokrasinya (Pemilu) ketika pandemi masih berlangsung. Hal yang sama juga pernah kita selenggarakan Pilkada tahun 2020 lalu di 170 daerah se-Indonesia, secara teknis pelaksanaan demokrasinya sama antara Pilpres dan Pilkada, dan kita berhasil melaksanakannya, bahkan angka partisipasi pemilihnya secara umum meningkat. Pemilu di negara lain dan Pilkada di Indonesia pada saat pendemi merupakan bukti insyaAllah ‘we will be fine’ dengan demokrasi kita dan Pemilu kita, lantas kenapa Pemilu 2024 ingin ditunda ?.
‘Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945) Pemilihan umum disepakati sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang menurut UUD 1945 dilaksanakan selama 5 tahun sekali (Pasal 22E ayat (1)). Ketentuan tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya diatur dalam UU 42/2008 berserta perubahannya, dan berdasarkan amanat UU 10/2016 menyatakan bahwa Pemilu akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Berdasarkan regulasi tersebut, KPU-pun sebagai lembaga penyelenggara Pemilu telah menyusun jadwal Pemilu serentak 2024 dan akan memulai tahapannya pada tahun 2022 ini. Regulasi yang melandasi pelaksanaan Pemilu tersebut menjadi “portal demokrasi” yang cukup kokoh untuk dijadikan landasan pelaksanaan Pemilu ditahun 2024, dan akan menimbulkan ‘ongkos politik’ yang cukup ‘mahal’ bila harus direvisi dalam waktu dekat karena akan dijadikan landasan penundaan Pemilu 2024.
Persoalan budaya politik pemilu (termasuk di dalamnya Partai Politik) publik juga bukanlah hal yang ‘remeh temeh’ untuk tidak dijadikan pertimbangan oleh ‘mereka’ yang mewacanakan keinginannya menunda Pemilu 2024. Mind set publik Indonesia itu sudah tertanam bahwa Pemilu itu dilaksanakan setiap 5 tahun, kecuali dalam keadaan tidak normal, seperti terjadi sebelum tahun 1955 dan Pemilu tahun 1999 pasca reformasi. Ketika secara umum Indonesia dalam keadaan relatif normal, maka Pemilu setiap 5 tahun itu adalah sebuah hajatan demokrasi nasional dan tidak berlebihan ada sebagian yang menganggap Pemilu adalah ’lebaran’-nya (hari raya) Partai Politik. Budaya politik Pemilu publik ini jugalah yang akan menjadi penghalang (handy cap) yang tidak ringan untuk tidak diperhatikan oleh “mereka” yang berniat, berpikir dan mau berupaya untuk menunda Pemilu 2024. Pertanyaannya, siapakah sesungguhnya ‘mereka’ ini ?, jejangan mereka itu adalah oligarkhi yang ingin mencuri keuntungan golongannya dari penundaan Pemilu 2024 … may be yes … may be no. (*)